Minggu, 20 Juli 2014

KONSEP DAN MAKNA BANGUNAN-BANGUNAN BANGSAL DI KERATON YOGYAKARTA



Abstrak
Bangunan Keraton Yogyakarta atau Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan salah satu sumber kebudayaan Indonesia yang berkembang di Jawa Tengah, karena menunjukkan kearifan lokal serta adat-istiadat tradisi jawa yang begitu dijaga dan dilestarikan hingga saat ini. Keraton yang terbentuk akibat adanya perjanjian Giyanti ini memiliki keunikan-keunikan tersendiri di dalamnya, tak hanya pola kehidupan yang menggunakan adat istiadat yang dijunjung tinggi, melainkan dari segi bangunan yang berdiri yang ada juga memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta. Karena merupakan pusat yang mengatur segala bentuk pemerintahan yang ada  dan dibangun berdasarkan mitologi dan kosmologi Jawa. Salah satu bangunan bentuk bangunan yang akan dikaji adalah bangsal-bangsal yang ada pada tiap bagian ruangan di Keraton Yogyakarta. Metode yang digunakan ialah deskriptif kualitatif. Fakta yang digunakan sebagai sumber atau bahan acuan diperoleh penulis melalui kunjungan lapangan, serta buku-buku pendukung yang digunakan sebagai literatur pendukung. Dalam penelitian ini dilakukan konteks yang dikaji adalah makna serta fungsi yang terkandung dari tiap-tiap bangsal yang ada, karena mencerminkan sebuah bangunan yang memiliki kekhasan tersendiri.
Kata kunci : makna, konsep, keraton Yogyakarta
Abstract
Building Sultan Palace or Kraton Ngayogyakarta Sultanate is one source of growing culture Indonesian in Central Java, as it shows local knowledge and customs Javanese tradition that is so guarded and preserved until today . Palace which formed as a result of this agreement Giyanti has its own uniqueness in it, not only the pattern of life that use customs upheld, but in terms of building that stands there also has significance for the people of Yogyakarta. Because it is the center of the set of all existing forms of government and built by Javanese mythology and cosmology. One form of the building is a building that will be studied wards that exist in every part of the room at the Sultan Palace. The metod used is descriptive qualitative. A fact which is used as a source or reference material obtained by the authors through field trips, as well as books that are used as supporting supporting literature. In a study conducted by reviewing the context and meaning of the functions contained from each ward there, because it reflects a building that has its own peculiarities.
Keywords: meanings, concepts, the palace of Yogyakarta

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu pusat kebudayaan yang luar biasa serta berbagai sejarah turut mewarnai perkembangan dan kebudayan Indonesia. Salah satu peninggalan kebudayaan Indonesia yang sampai sekarang masih dikembangkan nilai-nilai budayanya adalah keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta atau disebut juga keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan istana kasultanan yang berdiri setelah perjanjian Giyanti dan secara resmi menjadi bagian dari negara Republik Indonesia pada tahun 1950 dengan memiliki otonomi sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta.[1]
Kita mengenal keraton Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta, jauh lebih dari itu keraton Yogyakarta tidak hanya difungsikan sebagai pusat pemerintahan melainkan sebagai tempat lahirnya dan berkembangnya kebudayaan serta sebagai tempat untuk mengembangkan nilai-nilai budaya.
Bangunan keraton Yogyakarta terdiri dari tujuh kompleks yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul ( Kamandhungan Selatan ), dan Siti Hinggil Kidul (Belairung Selatan).[2] Dari segi bangunan Keraton Yogyakarta ini merupakan salah satu contoh arsitektur Jawa yang terbaik dengan adanya balirung-balirung yang mewah dan lapangan serta Paviliun yang luas.[3] Keraton Yogyakarta ini tak hanya menyimpan keindahan di dalamnya namun dari segi konsep bangunan terdapat makna-makna tersendiri dari tiap-tiap bagian sebab masyarakat Yogyakarta masih memegang kuat tradisi dan kepercayaan tradisional sehingga konsep Pembangunan Keraton Yogyakarta memperhitungkan aspek filosofi dan mitologi. Bangunan-bangunan bangsal di keraton merupakan bangunan yang mirip dengan bentuk rumah Joglo.[4] Setiap bagunan-bangunan bangsal di keraton merupakan bangunan yang penting digunakan sebagai tempat ritual maupun pertemuan sultan dengan rakyatnya. Begitu pentingnya bangunan bangsal dikeraton sehingga setiap bangsal dikeraton memiliki makna maupun filosofi yang berbeda antara bangsal satu dengan lainnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa disetiap bangunan-bangunan bangsal di Keraton Yogyakarta memiliki makna tersendiri serta konsep bangunan bangsal yang mirip dengan bangunan rumah Jawa. Hal ini menjadi landasan yang diangkat dalam penulisan jurnal ilmiah berjudul “KONSEP DAN MAKNA BANGUNAN-BANGUNAN BANGSAL DI KERATON YOGYAKARTA”.
Perumusan masalah
Pada penulisan jurnal ilmiah ini, masalah yang hendak dikaji oleh penulis adalah bagaimana konsep dan makna bangunan-bangunan bangsal di keraton Yogyakarta. Beberapa pertanyaan seputar permasalahan tersebut antara lain ialah :
1.      Bagaimana sejarah keraton Yogyakarta ?
2.      Bagaimana tata letak bangunan-bangunan di keraton Yogyakarta ?
3.      Bagaimana makna bangunan-bangunan bangsal di keraton Yogyakarta ?
4.      Bagaimana konsep bangunan bangsal di keraton Yogyakarta ?
Tujuan penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan jurnal ilmiah ini adalah :
1.      Ingin mendiskripsikan sejarah keraton Yogyakarta.
2.      Ingin mengambarkan tata letak bangunan-bangunan di keraton Yogyakarta.
3.      Ingin menganalisa konsep bangunan bangsal di Keraton Yogyakarta.
4.      Ingin menganalisa konsep bangunan bangsal di keraton yogyakarta.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan penelitian deskripsi kualitatif. Menurut Anneahira, penelitian deskripsi kualitatif merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk membedah fenomena yang diamati oleh peneliti. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengangkat suatu fakta dan variabel yang menjadi objek yang akan diteliti oleh peneliti. Penelitian deskripsi kualitatif ini meliputi penggumpulan data, analisis data, intepretasi dan diakhiri dengan kesimpulan. Pada penelitian ini mengungkapkan berbagai keadaan dan situasi dari objek yang akan diamati. Masalah-masalah yang diamati dan diselidiki berdasarkan penelitian deskrispsi kualitatif menggunakan pendekatan kebudayaan. Dimana dalam penelitian ini objek yang dikaji berupa gagasan dalam bentuk bangunan.
Sumber sejarah
Pada penulisan jurnal ilmiah ini, penulis menggunakan beberapa sumber diantaranya ialah sumber yang berasal dari buku kuno yaitu serat Salokapatra,[5] observasi langsung di lapangan dan wawancara dengan beberapa abdi dalem keraton Yogyakarata. Selain menggunakan  sumber-sumber diatas, penulis juga menggunakan sumber-sumber dari internet berupa jurnal-jurnal ilmiah yang sesuai dengan tema yang dibahas oleh penulis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Keraton Yogyakarta
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau keraton Yogyakarta merupakan istana yang yang terbentuk akibat adanya perjanjian Giyanti tahun 1755 yang berawal dari kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun1756 atau tahun Jawa 1682, diperingati dengan sebuah candrasengkala memet di pintu gerbang Kamagangan dan di pintu gerbang Gadung Mlati, berupa dua ekor naga berlilitan satu sama lainnya.[6] Keraton Yogyakarta dibangun dan dirancang sendiri oleh Sultan Hamengkubuwono I.  Brongtodiningrat menjelaskan yang disebut keraton adalah tempat bersemayam ratu-ratu, berasal dari kata : ka-ratu-an = keraton, juga disebut dengan kedaton, yaitu ke + datu + an = kedaton, tempat datu-datu atau ratu-ratu. Bahasa Indonesia keraton adalah Istana, tetapi istana bukan merupakan Keraton. Keraton Merupakan istana yang didalamnya terkandung arti keagamaan, arti filsafat, dan arti kebudayaan.
Tempat berdirinya keraton Yogyakarta menurut cerita merupakan bekas pesanggrahan yang bernama Garjitawati, tempat ini merupakan tempat yang digunakan para pengiring jenazah raja-raja Mataram yang dimakamkan di Imogiri. Sedangkan versi lain menyatakan bahwa tempat keraton berdiri merupakan sebuah mata air Umbul Pachetokan, di tengah-tengah pohon beringin.
Letak tata bangunan keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta merupakan keraton yang dibangun pada area kompleks yang sangat luas mencapai 14.000 meter persegi.[7] Sehingga bagian yang ada dalam keraton yogyakarta terbagi dalam tiga bagian utama. Berikut adalah bagian-bagian dalam keraton Yogyakarta.
1.      Bagian Utara
Bagian-bagian bangunan Keraton Yogyakarta yang berada pada bangunan Depan Keraton atau Utara meliputi :
a.       Tugu
b.      Alun-alun lor ( Utara )
c.       Bangsal Pagelaran. Bangsal Pagelaran ini memiliki nama awal bangsal tratag rambat, dengan bagian-bagian pendukung yang ada terdiri dari:
·         Bangsa Pemandengan
·         Bangsal Pengapit atau Bangsal Pasewakan
·         Bangsal Pangrawit
·         Bangsal Pacikeran
·         Bangsal Sitinggil Lor
·         Bangsal Manguntur Tangkil
·         Bangsal Witana
·         Bangsal Kort
·         Balebang
·         Bale Anggun-Anggun
·         Bangsal Kori
·         Tarub Agung
2.      Bagian Tengah Keraton
Pada bagian tengah Keraton Yogyakarta terdapat Pelataran Kemandungan, di dalamnya terdapat Bangsal Ponconiti dan bangsal Pacaosan. Antara bagian depan dan bagian tengah dari keraton Yogyakarta dihubungkan oleh Regol Brojonolo. Sebelum memasuki bagian utama Tengah Keraton Yogyakarta terdapat Regol Srimanganti dengan bangunan pendukung berupa :
a.       Bangsal Srimanganti
b.      Bangsal Trajumas
c.       Patung Dwarapala
Bagian selanjutnya pada bagian tengah keraton adalah Regol Danaprata yang menghubungkan halaman Srimanganti dengan Bangsal Kencana, yang merupakan halaman utama pada bagian tengah keraton Yogyakarta karena merupakan tempat yang digunakan sebagai pusat pemerintahan. Bagian ini masih dibagi dalam dua bagian yaitu wetan dan kulon atau disebut sebagai kaputren dan kasatriyan.  Bagian pada bangsal Kencana adalah:
a.       Gedhong Purwaretna
b.      Gedhong Jene ( gedhong kuning )
c.       Bangsal Kencana
d.      Bangsal Prabayeksa ( Gedhong Pusaka )
e.       Bangsal Manis
f.       Masjid Panepem
g.      Keraton Kilen
h.      Gedhong Kantor Prentah Ageng
i.        Bangsal Mandalasana
j.        Bangsal Kotak
k.      Gedhong Gangsa
l.        Gedhong Kaca atau Musium Sri Sultan Hamengkubuwono 11
m.    Gedhong Danartapura
n.      Gedhong Patehan
o.      Regol Kemangan
3.      Bagian Belakang Keraton Yogyakarta
Setelah dari bagian Tengah Keraton Yogyakarta akan terdapat halaman Kemangangan ( Regol kemangangan ), merupakan halaman yang menjadi penghubung bagian Tengah Keraton dengan bagian belakang atau Kidul Keraton. Pada halaman Kemangan terdapat bagunan pendukungnya antara lain:
a.       Bangsal Kemagangan
b.      Panti Pareden
Sedangkan untuk menuju pada bagian belakang keraton menuju halaman Kemandungan Kidul perlu melewati Regol Gadungmlati. Pada halaman Kemandungan Kidul terdapat bagian :
a.       Bangsal Kemandungan
b.      Bangsal Pacaosan
Halaman paling akhir dari keraton Yogyakarta tepat berada di arah Selatan, terdapat halaman Siti Hinggil Kidul, yang dibatasi oleh Regol Kemandungan Kidul. Bangunan atau halaman lainnya setelah Bangsal sasana Hinggil adalah:
a.       Alun-alun Kidul
b.      Krapyak
c.       Benteng Keraton Yogyakarta
Komplek keraton Yogyakarta ini dikelilingi oleh sebuah benteng. Dengan memiliki panjang 1 KM berbentuk empat persegi. Tingginya 3,5 Meter lebarnya 3 sampai 4 meter. Pada bagian-bagian tertentu pada benteng tersebut terdapat lobang-lobang kecil di dindingnya digunakan sebagai untuk mengintai musuh. Pada benteng bagian luar dikelilingi oleh parit lebar dan dalam benteng yang menghubungkan komplek keraton dengan dunia luar. Kelima pintu gerbang tersebut adalah :
1)      Plengkung Tarunasura atau plengkung Wijilan di sebelah Timur Laut
2)      Plengkung Jogosuro atau Plengkung Ngasen di sebelah Barat Daya
3)      Plengkung Jogoboyo atau Plengkung tamansari di sebelah Barat
4)      Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing di Sebelah Selatan
5)      Plengkung Tambakboyo atau Plengkung Gondomanan di Sebelah Timur
Makna bangunan-bangunan bangsal di keraton Yogjakarta
Keraton Yogjakarta merupakan salah satu peninggalan kebudayaan tradisional yang dimiliki masyarakat Jawa. Berbagai lambang di keraton banyak diketemukan dalam segala segi kehidupan, misalnya saja bentuk dan cara mengatur bangunan, mengatur penempatan tempat duduk, menyimpan dan memelihara barang pusaka keraton dan seterusnya. Dirsiti Soeratman menjelaskan bahwa keraton menyimpan dan melestarikan nilai-nilai lama, mengenai folklor dan beberapa mitos. Mitos merupakan dasar kehidupan sosial dan budaya, yang menjadi model atau referensi tindakan serta sikap manusia (PS. Hary Susanto, 1986: 71-72). Melalui mitos ini manusia dapat menontrol tindakannya menurut tata krama yang berada di lingkungannya. Dalam hal ini nampak bangunan yang berada dilingkungan keraton kental dengan unsur mitos akan keberadaaannya.
Berdasarkan serat Salokapatra yang berisi tentang mitos bangunan yang ada di lingkungan keraton Yogjakarta, Salokapatra dinyatakan bahwa di dalam keraton terdapat dua bangunan utama, yaitu bangunan yang disebut bangsal ‘rumah’ dan regol ‘pintu gerbang’. Bentuk bangunan di kompleks keraton kebanyakan berbentuk joglo atau semacamnya. Bangsal itu sendiri merupakan bangunan yang berbentuk joglo terbuka tanpa dinding, sedangkan joglo tertutup disebut dengan Gedhong (gedung). Dalam I. W. Pantja Sunjata, kata bangsal menurut Baoesastra Djawa mempunyai arti omah gedhe ing keraton ‘rumah besar di keraton’ (Poerwadarminta, 1939:31). Dalam serat Salokapatra pupuh II, 41-43 menjelaskan bangsal dipakai untuk menyebut bangunan yang berbentuk rumah di dalam keraton, hal ini untuk membedakan rumah milik raja yang terdapat di keraton dan rumah yang ada di luar keraton. Pada studi ini penulis akan menguraikan makna beserta fungsi bangunan bangsal di keraton Yogjakarta :
1.      Bangsal pangurakan
Berdasarkan terjemahan serat Salokapatra,[8] bangsal pangurakan berbentuk joglo yang terletak di utara alun-alun mengapit jalan. Bangsal ini diberi nama pangurakan karena digunakan untuk menyuruh pergi orang-orang yang tidak menurut dan melanggar pada peraturan maupun perintah raja. Setiap hari, Bangsal Pangurakan dijaga ketat oleh abdi dalem yang bertugas untuk meng-geladhag orang-orang yang melanggar aturan kerajaan sehingga tempat ini juga disebut geladhag. Oleh karena itu, pada bangsal ini tidak satupun orang dapat memasukinya dan hanya momen-momen tertentu saja bangsal Pangurakan ini dibuka. Bangsal Pangurakan ini juga digunakan sebagi tempat penyimpanan perabotan kerajaan, seperti senjata, kereta kerajaan, panggung kuthamara, dan sebagainya.
2.      Bale Pamangukan
Berdasarkan terjemahan serat Salokapatra,[9] bale pamangukan digunakan sebagai tempat para abdi dalem yang akan sowan dan tempat untuk menjemput para penjemput. Dalam lokasi ini terdapat hal yang istimewa bagi tamu asing, yaitu dari bale pamangukan ke selatan semua orang tidak boleh memakai payung dan berkendara kecuali tamu Belanda.
3.      Bangsal balemangu
Berdasarkan terjemahan serat Salokapatra pupuh II 33,[10] bangsal balemangu letaknya mengapit regol masjid. Bangsal ini digunakan sebagai tempat peradilan hukum agama tentang perkara warisan.
4.      Bangsal pekapalan
Berdasarkan serat Salokapatra pupuh 35-39,[11] bangsal pekapalan merupakan tempat berkumpulnya para priyayi, bupati dengan pangkat regen ke atas yang telah mendapat daerah kepala distrik. Jika terdapat waktu-waktu tertentu misalnya seperti hajat dari raja, maka atas kehendak raja bangsal ini diberi tarub dan semuanya dihias serta semua golongan priyayi berkumpul. Tarub yang dipasang berwarna-warni untuk memeriahkan jumenengan kanjeng raja ‘bertahtanya raja’ yang lamanya sampai tujuh hari pertunjukan di pekapalan dan para abdi dalem bersenang-senang sampai akhir.
5.      Bangsal pamunggangan
Berdasarkan serat Salokapatra pupuh III 1-4,[12] bangsal pamunggangan disebut sebagai gedhog balebang letaknya disebelah tenggara halaman sitinggil. Bangsal ini digunakan untuk berbagai gamelan, yaitu gamelan munggang, gamelan sekati, galeman kyai Guntursari, kyai Nagawilaga dan ki Lokananta. Pada jaman dahulu setiap hari malam Minggu gamelan Munggang ditabuh keras sebagai tanda kerajaan untuk melestarikan keraton Jawa.
6.      Bangsal Agung
Berdasarkan serat Salokapatra pupuh IV 13-15,[13] bangsal ini disebut juga pagelaran bangsal agung yang pada jaman dahulu dipakai untuk menggelar pengadilan kerajaan. Bangsal ini letaknya di alun-alun selatan yang membujur ke selatan, bentuknya sama besar dan kembar, sepasang ditimur dan barat yang mengapit trataag.
7.      Bangsal pacikeran
Berdasarkan serat Salokapatra pupuh VIII 16-20,[14] bangsal ini letaknya mengapit jalan menuju sitinggil. Pada jaman dahulu bangsal ini digunakan untuk menghukum orang yang bersalah. Di dalam bangsal ini tinggallah abdi dalem Singanagara yang berkewajiban untuk merawat peralatan perlengkapan kerajaan.
8.      Bangsal witana
Menurut serat Salokapatra pupuh XIV 27-29,[15] bangsal witana bermakna dengan  menggambarkan raja dalam memulai segala hal dengan fikiran jernih, agar dapat mencapai keselamatan raja dan rakyat. Bangsal witana letaknya di tengah sitinggil, berbentuk joglo, terdapat banyak ukiran dengan warna prada kuning, emas dan merah yang menggambarkan bertemunya Panembahan Senapati dengan Ratu Kidul.[16] Soemarsaid Moertono menjelaskan bahwa pemakaian warna dalam bangunan bangsal witana merupakan pameran kekayaan dalam kesemarakan dan kebesaran istana.
9.      Bangsal mangunturtangil
Berdasarkan serat Salokapatra pupuh XIV 19-26,[17] makna dari mangunturtangil ialah membangkitkan pikiran yang jernih agar dapat memberi berkah keselamatan kepada rakyat yang sowan untuk mendoakan keselamatan raja. Bangsal ini sebagai tempat raja sinewaka pada saat gerebegan.
10.  Bangsal keben
Bangsal keben sebenarnya bernama bangsal maniti, disebut keben karena terbawa oleh nama pohon keben yang ditanam dekat bangsal ini.[18] Berdasarkan serat Salokapatra pupuh XVI 33-37,[19] pada jaman dahulu bangsal ini digunakan bermusyawarah para bupati khusus untuk mengadili benar dan salah raja di dalam keraton. Pada hari yang bertepatan dengan hari pasowanan rakyat dan para priyayi bersiap menuju ke dalam kerajaan untuk melihat kebesaran kerajaan. Bangsal ini juga sebagai tempat untuk mempersiapkan diri apabila akan masuk kerajaan dengan berpakaian sesuai dengan aturan kerajaan.
11.  Bangsal Prabayeksa
Bangsal prabayeksa dibangun oleh pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VI pada tahun 1876 sampai 1877. Agung Sudarman menjelaskan bangsal ini letaknya diapit oleh bangsal Aalit Wetan dan bangsal Alit Kilen serta difungsikan sebagai tempat tinggal keluarga raja. Di dalam bangsal Prabayeksa ini hampir semua pusaka disimpan, berjalan kapang-kapang menuju bangsal Kencana.[20]
12.  Bangsal kencana
Bangsal kencana terletak dibagian tengah keraton dan bangsal ini merupakan bangsal utama yang digunakan sebagai pusat pemerintahan serta juga digunakan untuk upacara-upacara adat keraton.
13.  Bangsal Trajukencana
Bangsal trajukecana mempunyai bentuk bangunan yaitu trajumas. Dalam serat Salokapatra dijelaskan traju mempunyai arti menimbang dan mas yang berarti bersih suci. Sehingga maksud trajumas itu sendiri adalah apabila raja duduk di bangsal ini maka hatinya akan bersih suci, sehingga segala perkataannya selalu benar dan bangsal ini digunakan raja untuk mengangkat patih.[21]
Pada uraian di atas, tidak keseluruhannya disebutkan. Namun, hal tersebut dapat memberikan petunjuk bahwa disetiap bangun bangsal-bangsal keraton Yogyakarta masing-masing mempunyai arti atau makna. Dimana makna bangunan-bangunan bangsal tersebut sangat erat dengan fungsi, kebutuhan dan kehidupan di keraton Yogyakarta.
Konsep bangunan bangsal di keraton Yogyakarta
Perkembangan Bangunan Joglo (Bangunan Jawa) tak terlepas dari bangunan purba yang disebut punden berundak yang merupakan bangunan suci (Hedi, 2005: 28-35) diambil dalam Jurnal Nilai Kearifan Lokal Tradisonal Jawa). Struktur dan bentuk bersusun memusat semakin ke atas semakin kecil (Sunarningsih, 1999, 32: diambil dalam Jurnal Nilai Kearifan Lokal Tradisonal Jawa). Susunan yang ada di atas bangunan Joglo tertutup atap yang semakin ke atas semakin mengecil mirip seperti gunungan, yang bagian puncaknya terhubung Mala yang membujur, biasanya disebut sebagai penuwun. Pada bagian Joglo juga terdapat tiang atau peyangga bagian atap dari Joglo yang soko guru. Tiang yang sama ada pada bangunan bangsal keraton Yogyakarta. Pada bagian bawah saka guru ditopang oleh umpak yang terbuat dari batu. Bentuk bangunan Joglo merupakan transformasi dari candi Hindu, karena tak dipungkiri bahwa kepercayaan Hindu-Budha yang berkembang di Indonesia tak hanya memberi pengaruh pada bidang religi melainkan pada arsitektur bangunan, kebudayaan, maupun kesenian.
Rumah adat Jawa (Joglo) ini dibangun berdasarkan kondisi lingkungan yang ada mengacu pada norma dan nilai-nilai adat yang ada di Jawa. Tiap bangunan mengandung fungsi yang berbeda dan unsur filosofi yang sarat akan nilai-nilai religi yang begitu kental. Meskipun Keraton Yogyakarta dibangun di Masa Islam berkembang di Indonesia, namun bangunan yang ada mencerminkan bahwa masih menerapkan sistim bangunan Jawa. Dari pengertian serta ciri-ciri yang ada pada bangunan Joglo, dapat diketahui bahwa pada bangsal-bangsal yang ada di keraton Yogyakarta merupakan bentuk bangunan Joglo yang tidak memiliki dinding.
Tiap ruangan yang ada pada tiap-tiap bangsal diatur berdasarkan Kosmologi Jawa yang memiliki makna tersendiri serta berbeda fungsi antar bangunan satu dengan bangunan yang lain. Selain itu pada bagian-bagian tertentu dalam keraton bangsal digunakan sebagai pusat Keraton (tata letak yang konsentris). Hal tersebut merupakan pengaruh dari kepercayaan spiritual bahwa pada bagian inti merupakan pusat dari kesakralan. Dari ciri bangunan yang memiliki pusat pada tengahnya juga merupakan pengaruh dari kebudayaan Islam struktur satu satu di tengah diapit dua lainnya, atau pola struktur di depan dan belakangnya, atau di kiri dan kanannya seperti tercermin dalam pola papat kiblat (Darsiti, 1989 : 40 : dalam Jurnal Nilai Kearifan Lokal Tradisonal Jawa).
Letak bangsal Kencana yang berada pada posisi tengah-tengah keraton, yang terletak  pada halaman pertama merupakan salah satu contoh bangunan yang memiliki makna sebagai pusat atau pancer,  dijadikan sebagai rujukan bangunan yang ada pada sekelilingnya. Dari hal inilah yang menunjukkan bahwa bangunan-bangunan yang berada di keraton Yogyakarta, khususnya bangunan-bangunan bangsal yang ada merupakan bangunan yang dibangunan dengan menerapkan konsep filosofi Jawa. Semua bangsal di keraton merupakan bangunan yang tertata rapi, hal ini bertujuan untuk menciptakan sebuah kehidupan yang seimbang dalam keraton Yogyakarta.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau keraton Yogyakarta merupakan keraton yang terbentuk akibat adanya perjanjian Giyanti tahun 1755 yang berawal dari kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta ini sendiri dibangun pertama kali pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I dan kemudian pembangunannya diteruskan oleh keturunan Sultan. Keraton Yogyakarta merupakan keraton yang sangat luas, karena luasnya kurang lebih dari 14000 meter persegi. Pada keraton ini, terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu bagian utara keraton, tengah keraton dan belakang keraton. Dalam bagian-bagian keraton ini terdapat bangunan-bangunan yang mengisi lingkungan keraton. Bangunan tersebut salah satunya berupa bangsal. Bangsal itu sendiri merupakan bangunan di keraton yang berbentuk seperti rumah adat Jawa ‘Joglo’ terbuka tanpa dinding. Karena keraton merupakan tempat yang sarat akan hal-hal mitos, maka bangunan-bangunan bangsal tersebut mempunyai makna tersendiri. Dimana makna bangunan bangsal yang satu dengan yang lainnya tidak memiliki kesamaan. Makna yang terdapat dalam bangunan-bangunan bangsal erat kaitannya dengan kehidupan di keraton, yaitu tata cara menghadap raja, tata cara berpakaian, tata cara mengadili orang,  upacara, menerima tamu, dan seterusnya. Selain terdapat makna pada bangunan bangsal ini, konsep pembanguan keraton itu sendiri juga terdapat makna. Pada tiap-tiap bangsal diatur berdasarkan Kosmologi Jawa yang memiliki makna tersendiri serta berbeda fungsi antar bangunan satu dengan bangunan yang lain. Selain itu pada bagian-bagian tertentu dalam keraton, bangsal Kencana digunakan sebagai pusat Keraton (tata letak yang konsentris). Hal tersebut merupakan pengaruh dari kepercayaan spiritual bahwa pada bagian inti merupakan pusat dari kesakralan.
Saran
Berdasarkan hasil simpulan di atas, ada beberapa saran yang di rekomendasikan oleh penulis, diantaranya adalah :
1.      Keraton merupakan tempat yang di dalamnya penuh dengan makna mitos sehingga apa yang terdapat pada makna-makna yang berada di lingkup keraton hendaknya di sikapi dengan bijak.
2.      Keraton merupakan tempat lahir dan berkembangnya kebudayaan maka dari itu segala hal yang berkaitan dengan kehidupan di keraton hendaknya dijaga dan dilestarikan budaya tersebut karena budaya merupakan salah satu jati diri negara.
DAFTAR PUSTAKA
Ahira, Anne. ______. Penelitian Deskripsi Kualitatif, (http://www.anneahira.com/penelitian-deskriptif-kualitatif.htm, diakses 10 Juni 2014)
Djonet, Marwati. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 4. Jakarta : Balai Pustaka
K.P.H. Brongtodiningrat.____. Arti Keraton Yogyakarta (diterjemahkan secara bebas oleh R. Murdani Hadiatmaja). Yogyakarta: Museum Keraton Yogyakarta.
Pribadi Firman 2014. Keraton Yogyakarta Sebagai Akar Budaya Bangsa Indonesia, Jurnal Pendidikan (Online ). (https://anegara2013.files.wordpress.com, diakses 24 Mei 2014)
Sunjata, Pantja, dkk. 1995. Makna simbolik tumbuh-tumbuhan dan bangunan keraton: suatu kajian terhadap serat Salokapatra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Utama, Tri Prasetya. Subiyantoro, Slamet. 3 Oktober 2012. Nilai Kearifan Lokal Rumah Tradisional Jawa. Jurnal Pendidikan, ( Online) vol 24,  (http:// jurnal.ugm.ac.id, diakses 26 Mei 2014)
______. bab 3 obyek penelitian Sejarah Keraton Yogyakarta. Jurnal Sejarah (Online).  (http://elib.unikom.ac.id, diakses 24 Mei 2014)
______. Bab 2 Keraton Yogyakarta dan Candrasengkala. Jurnal Sejarah (Online). (http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123482-RB02M109c-Candrasengkala%20sebagai-Literatur.pdf, diakses tanggal 25 Mei 2014)
_____. Bangsal kencana keraton Yogyakarta layak dipugar. 21 Juli 2011. (http://nationalgeographic.co.id/berita/2011/07/bangsal-kencana-keraton-yogyakarta-layak-dipugar, diakses tanggal 25 Mei 2014)
______. Keraton Yogyakarta.  Arsitektur Khas Nusantara yang Sarat dengan Nilai Budaya!.  22 Januari 2013. (http://butikrumah.com/keraton-yogyakarta-arsitektur-khas-nusantara-yang-sarat-dengan-nilai-budaya/, diakses tanggal 25 Mei 2014)
______, Kraton Yogyakarta, (http://gudeg.net/id/ diakses 25 Mei 2014)



[1] Pribadi Firman 2014. Keraton Yogyakarta Sebagai Akar Budaya Bangsa Indonesia.... Jurnal Pendidikan ( online ). https://anegara2013.files.wordpress.com (diakses 24 Mei 2014). Hal. 1
[2] ______bab 3 obyek penelitian Sejarah Keraton Yogyakarta....Jurnal Sejarah ( Online)  http://elib.unikom.ac.id, (diakses 24 Mei 2014). Hal . 94
[3] Ibid.
[4] Joglo merupakan rumah adat tradisional Jawa.
[5] Serat Salokapatra berisi tentang mitos tumbuhan dan bangunan yang ada di lingkungan keraton Yogjakarta, dalam Pantja Sunjata, dkk. 1995. Makna simbolik tumbuh-tumbuhan dan bangunan keraton: suatu kajian terhadap serat Salokapatra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[6] K.P.H. Brongtodiningrat.____. Arti Keraton Yogyakarta (diterjemahkan secara bebas oleh R. Murdani Hadiatmaja). Yogyakarta: Museum Keraton Yogyakarta. Hal 7
[8] Serat Salokapatra Pupuh I, 9-11. Sun mangsuli carita ing ngarsi, ngalun-alun rerenggane praja, bangsal kekalih papane, ngapit iringing lurung, pangurakan sinungan asmi, kang bangsal kalih kembar, wangun joglo mungguh, ngapit marga jeng-ajengan, wetan kilen kasandingan wit waringin, lerese pojok saka// Mila saking karsa dalem aji, pan ing riku kaparingan bangsal, pangurakan bebangsale, saking karsa sang prabu, paring priksa sagunging jalmi, sing apa tan manuta, mring pranatan ratu, nerak angger-angger praja, dipun urak kapatrapan ukum adil, kang bangkang ginaladhang// Mila inggih ugi den wastani, akatelah papan geladhangan, sampun seling seserape, makaten terangipun, ran geladhag pengkate priyayi, didalem kang rumeksa, kang caos ing riku, tembung caos iku jaga, abdi dalem mantri jaga kang majibi, kang jaga gegiliran//
[9] Serat Salokapatra pupuh I, 7-8. Galedhengan lun-alun kinikis, tinengeran candhen pager bata, neng pinggir moncol rakite, sak lere tenger watu, teksih wonten tetenger malih, dhapur tenger tan padha, eler lawan kidul, kasigeg dadya godhagan, gegodhagan duk riyin dipun wastani, ing bale pamangukan// Pan ing riku papane pra abdi, pandhereke didalem kang sowan, kang methuk manguk neng kono, samya ngegarken payung, planggerane panewu mantri, wit kening sinongsongan, ngaler saking riku, mangidul dadya larangan, sadayeku tyang nemumpak boten kenging, kejawi para tuwan//
[10] Serat Salokapatra pupuh II, 33. Wonten malih bangsalipun, kang diapit regol masjid, ing riku arane bangsal, balemangu papan ngadil, pengadilan ukum agama, wong kang kudon ngamal waris.
[11] Serat Salokapatra pupuh II 35-39. Pekapalan bangsalipun, kangge pakempaling pyayi, bupati tanahing praja, pangkat regen sak penginggil, kang wus angsal prabot bawat, darbe reh kepala dhistrik// Lamun wonten kakrsa sang aji, bangsal-bangsal tinaruban, kinarya makjang sami, tugur samya pakempalan, tugur sak golongan pyayi// Duk kalanira runuhun, kula sampun nyumerepi sagung bangsal tinuguran, tarybe awarna-warni, duk jumeneng kanjeng raja, gustiku sang raja dewi// Ing Nederlan praja agung, angasta pangwasa adil, sagunging wong tanah Jawa, misu[ng]sung samya memuji, sugenging sang sri bagendha, tulus slamet ngasta adil// Dadya karsa dalem prabu, paring dhawuh mring pra abdi, kinen samya bungah-bungah, lami ngantos pitung ari, nenanggap neng pekapalan, abdi dalem suka ngenting//
[12] Serat Salokapatra pupuh III, 1-4. Wangun sinom ingkang bangsal, pager bata pacak siji, papan pojok kidul wetan, kang bangsal iku piranti, anabuh gangsa kyai, munggang pendhak Sabtu, sore wanci jam gangsal, wiwite kang gangsa muni, wus pinacak dadya rerengganing praja// Sun lajengken kang carita, bab Munggang kula nyelani, ing mangke selak kalepyan, kecalan larahe nguni, kula sampun meninggi, tamat duk kala rumuhun, gangsa Munggang punika, gendhinge tan ngolah-ngalih, sak lamine gendhinge amung satunggal// Saben dina malem Ngahad, Munggang tinabuh ssru muni, kinarya tetenger praja, duk jamane nguni-uni, leluri krkaton Jawi, pusaka ing Majalangu, teksin agami Buda, dinten Ngahad kang kapiji, pakendelan samya angeningken rasa// Dene papane kang gangsa, sumimpen ing sitinggil, kang asma gedhong balebang, sak wetan bangsal sitinggil, ugi kyai Sekati, dadya tunggil papanipun, miwah ki Lokananta, ugi kyai guntursari, tunggil papan lan kyai Nagawilaga//   
[13] Serat Salokapatra pupuh IV, 13-15. Santun kocap sak punika bangsal agung, bangsal kekalih angapit, angapit kang tratag wau, warni kembar ageng inggil, serakit wetan lan kulon// bangsal ngalih mujur ngidul anjenggunuk, dhedhapur wangunan sami, lawakan alambang gantung, klabang nyander amastani, birawa kabeh pitados// Bangsal kalih saking karsa dalem prabu, sedaya kaparing nami, pagelaran bangsal agung, kageme duk kala riyin, anggelar adiling kraton//
[14] Serat Salokapatra pupuh VIII, 16-20. Enengena kang kocap ing cagak tratag, ganti ingkang winarni, kawuwusa bangsal, kang asma pacikeran, riku bangsalnya kekalih, angapit marga, margi minggah sitinggil// Bangsal kalih laras kadya kinurungan, kinurung pacak suji, bata ngapurancang, ting complong pager bata, wetan kilen ugi sami, kekalih samya, geng alit dukur sami// Bangsal wau dadyanpraboting negara. Jamane nguni-uni, papane kinarya, angrampung wong kang dosa, aran pacikeran nenggih, kinarya nglunas, wong dosa rajapati// kang wajib prabot pranti, kyai Gobang sama, ugi ki Pangaraban, dadya rimatan sapriki, ing jro kedatyan, mung kantun den pepetri// abdi dalem Mertalulut kang sisihan, sisihan Singanagri, ugi nunggil papan, jagi lumakyeng duta, anglawung wong kang asisip, angrusak tata, Mertalulutkang jireti//
[15] Serat Salokapatra pupuh XIV, 27-29. Ing witana bangsal ingkang wingking, amaketen ingkang dadya lambang, lambang sabda surasane, wi wingit tegesipun, wit kang luwih sinawang inggil, inggil asale lembat, alus saking luhur, ta tembung isi raga, na pepadhang-padhanging sumilak ati, jumeneng aneng bangsal// wiwitan saking padhang ati, sadayeku sagung kang tumingal, ing wiyat anggayuh gawe, gawea kang mrih hayu, mmring badanta kang mumpangati, kang padhang jroning tekad, ywa nganti keliru, anggayuh marang nugraha, rehning jalma neng donya wenag ngupadi, barang kang bisa berkat// Ing witana bangsal ageng inggil, kang jinejer aneng tengah-tengah, kajejer yekti wujude. Wujud kang daebe kayun, samubarang wiwit ngriyini, ta lahairing kang karsa dadi tandang tanduk, na sampun cunduk dadya, tunggil karsa kekalih dadya setunggil ran gusti lan kawula//
[16] Lihat serat Salokapatra pupuh XIV, 11-16
[17] Serat Salokapatra pupuh XIV, 19-26. Bangsal ageng kagandhengan malih, bangsal alit dadyanpalenggahan, sewakan dalem sang rajeng, bangsal kalih kadulu, kadya janma amangku siwi, kang lagya karya rena, mmring sudarmanipun, kang bangsal lit munggeng ngarsa, kaparingan asmane mangunturtangkil, plenggahan dhampar emas// Asma bangsal ing mangunturtangkil, riku bangsal ingkang mawilangan, gilang sela duk kinane, kang gilang warni santun, sampun komplit awarni jubin, tunggil dhedhasar pethak, nging teksih kawangun, katurun linaras gilang, wus tan siwah kawangun kadya rumiyin, mung santun awarni dhasar// Anglangkuni tinimbang rumiyin, edi peni rinengga pepatran, sangsaya alus ukire, sunggingan pulas mungguh, abyor murub kasorot rawi, kang sungging renyep mumpyar, lir putri kinurung, kang lagya sinerung priya, angkuh wiwit kang dadya wewatak putri, kang mulat asin wedya// Bangsal alit kaparing nami, pasewakan miyos garebegan, mangunturtangkil asmane, plenggahan dalem prabu, munggeng dhampar kencana adi, tumumpang sela gilang, gumilang sang prabu, pinereg gungung sentana, abdi dalem penewu bupati mantri, angrep kang para sowan// Mila bangsal mangunturtangkil, winulyakken adining rereggan, nglangkungi kina baguse, angagem modhelipun, para W[a]landi jaman semangkin, warni edi resik kakah, sagung yasanipun, kang sinuwun kaping astha, gung wiyasan kacondhong modhel W[a]landi, resik kekah di warna// suraose kang mangunturtangkil, amakaten dununge kang rasa, manguntur gugah tegese, magun pacak pinatut, tur lumeber tumurun mili, mili ngileni k[a]wula, mili kang rahayu, tinagkil ngaten jatinya, kang mra sowan mituhu ngarsa dalem ji, saos sugeng praja// Barang luber-lubering pamikir, kang tinadhah raganing manungsa, pikir tinangkel budine, dadya jumeneng hidup, ngadhep urip tatane wajib, wajibe kang ihtiyar, mangerti gah-ungguh, kang lungguh budi utama, bisa ngadhep lelanjaran saking gusti, gusti anuntun pernah// Kang jumeneng sewaka tinangkil, munggeng gilang kekalih yektinya, lir soca lan embanane, yeku kanjeng sang prabu, lan jeng tuwan gubnur nagari, lan jeng tuwan gubnur nagari, kang ngasta pengadilan, Ngayogya pra gung, kekalih sewaka gilang, sewakane kekalih papane tunggil, ing dinten garebegan // 
[18] Lihat serat Selokapatra pupuh XVI, 40-42.
[19]  Serat Salokapatra pupuh XVI, 33-37. Bangsal keben kageme jaman rumuhun, mupakati pra bupati, misuda bener t[u]win luput, mirunggan ingkang pangadil, sang ratu ngrasuk keprabon// Lamun nuju dinten pasowan agung, kawula lan para pyayi, pangrantunan para luhur, sumekta keprabon niti, nasititekken gung keprabon// Nanging teksih kenging ngangge klambi sagung, dereng mawi lukar klambi, sedaya kang ngambah riku, mung nganggea tata krami, sampun ngantos clola-clolo// Nadyan boten kang dadya alanganipun, sampun dumeh den larangi, lelarangane mung wangsul, lamun kangge tiyang jawi, tinulak saking panganggo// papan riku kanggya tata-tata sagung, sedaya kang sedya meksi, kikis tata wonten riku, miturut tataning aji, carane yen mleblu kraton//
[20] Wawancara dengan pangeran Suryabrotong, dalam R.M. Soedarsono, Wayang Wong, (Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1997) hal. 148
[21] Lihat serat Salokapatra pupuh VI, 2-5.

2 komentar:

  1. Bagaimana cara mengakses manuskrip serat Salokapatra? Syarat administrasinya apa saja?

    terimakasih...

    BalasHapus
  2. The 7 Best Casinos in Connecticut in 2021 - JTM Hub
    The 7 Best 안동 출장안마 Casinos in Connecticut 안산 출장샵 in 울산광역 출장안마 2021. 이천 출장샵 The 7 Best Casinos 경상남도 출장안마 in Connecticut in 2021. If you live in Connecticut,

    BalasHapus